Tembung dwiwasana adalah salah satu bentuk tembung rangkep dalam bahasa Jawa. Disebut tembung dwiwasana karena proses pembentukannya dengan jalan mengulang bagian akhir dari suku kata bentuk dasarnya. Nah... untuk melihat lebih lanjut tentang Tembung Dwiwasana mari kita lihat kiriman artikel dari Bapak Samsul Hadi.
TEMBUNG DWIWASANA DALAM TINJAUAN LINGUISTIK
Oleh
: Samsul Hadi
- Pendahuluan
Tembung dwiwasana
adalah salah satu bentuk tembung rangkep
dalam bahasa Jawa. Disebut tembung
dwiwasana karena proses pembentukannya dengan jalan mengulang bagian akhir
dari suku kata bentuk dasarnya. Kata
tersebut berasal dari kata dwi dan wasana. Dwi berarti dua, atau rangkap.
Wasana berarti akhir.
Istilah tembung dwiwasana dalam dunia linguistik Jawa tradisional sudah
sangat populer. Hampir semua ahli bahasa Jawa menggunakan istilah tersebut. Poerwodarminto
(1953), Poedjosoedarmo (1981), Suwadji (1986), dan Padmosoekotjo (1986),
mengklasifikasikan tembung rangkep menjadi: (1) tembung dwipurwa, (2) tembung
dwilingga, (3) tembung dwilingga salin swara, dan (3) dwiwasana.
Bentuk kata seperti: nenandur,
memangan, lelakon, tetuku, dan semacamnya adalah bentuk yang dikenal sebagai
tembung dwipurwa. Bentuk kata seperti: mlaku-mlaku, nggantheng-nggantheng,
ayu-ayu, gedhe-gedhe, dan semacamnya disebut sebagai bentuk tembung dwilingga. Apabila
terjadi perubahan bunyi seperti: bola-bali, mesam-mesem, milang-miling,
nongas-nangis, dan semacamnya disebut tembung dwilingga salin swara. Sedangkan
bentuk kata seperti: cekikik, cekakak, methethek, methothok, jedhindhil,
cengenges, cengunguk, jelalat, dan semacamnya dikenal sebagai bentuk tembung
dwiwasana.
Yang menjadi permasalahan adalah, bahwa
selama ini bentuk tembung dwiwasana dalam bahasa Jawa masih menjadi polemik.
Sebagian ahli bahasa Jawa menyatakan bentuk dwiwasana memang ada dalam bahasa Jawa.
Sebagian yang lain menyatakan tidak ada. Benarkah proses pembentukan tembung dwiwasana memenuhi kaidah linguistik
sehingga disebut rimbag rangkep
dwiwasana? Untuk memperoleh Jawaban dari pertanyaan tersebut perlu dilakukan
kajian lebih mendalam.
Sebagai asumsi dalam pembahasan
permasalahan ini memandang bahasa sebagaimana pandangan Franz Boas (dalam
Samsuri, 1988: 51) seorang tokoh linguistik struktural Amerika Serikat, bahwa
tidak ada satu bahasapun di dunia ini yang menjadi ukuran bagi bahasa-bahasa
yang lain. Setiap bahasa selalu memiliki kategori-kategori logis tertentu yang
merupakan keharusan digunakan dalam bahasa tersebut.
Edward Sapir (dalam Samsuri 1988: 54)
memberikan batasan tentang bahasa sebagai berikut: Bahasa adalah suatu metoda
yang semata-mata dipergunakan manusia dan tidak bersifat naluri yang
dipergunakan untuk mengkomunikasikan ide, perasaan dan keinginannya dengan
menggunakan sistem lambang secara suka rela.
Asumsi lain tentang bahasa Jawa
adalah memandang bahwa bahasa Jawa juga terdiri dari lambang bunyi yang
berstruktur dan bersistem; Bahwa bahasa Jawa juga terdiri dari struktur fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik; Bahwa bahasa Jawa juga
terdiri atas dialek-dialek, tingkat tutur, ragam bahasa, dan juga memiliki register-register
(Poedjosoedarmo 1981:2)
Dwiwasana
adalah salah satu bentuk rimbag rangkep, yang dalam istilah linguistik disebut
reduplikasi. Banyak para ahli linguistik mendefinisikan tentang reduplikasi.
Sulchan Yasin (1987:129) mendefinisikan sebagai proses perulangan bentuk dasar.
Sudaryanto (1991 : 39) menyebutnya sebagai kata jadian yang dibentuk dengan
proses pengulangan. Adapun bentuk baru sebagai hasil proses pengulangan tersebut
lazim disebut tembung rangkep.
Rimbag rangkep (reduplikasi) merupakan
proses morfemis (Verhaar, 1990:60). Rimbag rangkep selalu memiliki bentuk dasar
yang diulang. Bentuk dasar yang dimaksud merupakan bentuk linguistik yang
menjadi bentuk dasar rimbag rangkep.
Karena bentuk linguistik, maka bentuk dasar tersebut bisa diderivasikan menjadi
bentuk turunan lain dalam kalimat yang lain pula.
Pernyataan serupa dikemukakan oleh
Simatupang (1979:15) bahwa setiap bentuk rimbag rangkep (reduplikasi) selalu
terdiri atas konstituen dasar dan konstituen ulang. Tampak misalnya dalam kata mloku-mlaku. Bentuk kata tersebut
konstituen dasarnya menempati posisi kedua (mlaku),
sedangkan konstituen ulangnya menempati konstituen pertama dengan terjadi
variasi bunyi. Tergantung dimana posisi konstituen ulangnya, Beliau membedakan
menjadi (1) reduplikasi arah kanan dan (2) reduplikasi arah kiri. Disebut
reduplikasi arah kanan apabila konstituen ulangnya terletak pada posisi kedua.
Dan disebut reduplikasi arah kiri apabila konstituennya terlepak pada posisi
pertama.
Rimbag rangkep (reduplikasi) dapat
terjadi dengan jalan pengulangan sebagian bentuk dasar, pengulangan seluruh
bentuk dasar, pengulangan dengan memberi variasi fonem, dan pengulangan bentuk
dasar berimbuhan (Yasin, 1987 : 129). Berkaitan dengan pengulangan bentuk dasar
berimbuhan, Muhajir (1977 : 124 – 128) membedakan dua proses afiksasi dalam
reduplikasi. Yakni: (1) reduplikasi terjadi pada bentuk dasar yang telah
berafiks; (2) afiksasi dan reduplikasi terjadi secara simultan.
2.
Tinjauan
Linguistik Tembung Dwiwasana
Diatas
telah disebutkan, bahwa keberadaan tembung dwiwasana dalam bahasa Jawa masih
menjadi polemik. Sebagian ahli menyatakan ada dalam bahasa Jawa, sebagian yang
lain menyatakan tidak ada. Dikatakan ada karena memang dalam tata bahasa Jawa
tradisional selalu kita jumpai klasifikasi bentuk rimbag rangkep yang salah
satu bentuknya adalah bentuk dwiwasana, Sedangkan yang menyebut tidak ada
karena secara linguistik berbeda proses pembentukanya dibanding yang lain.
Bentuk
kata seperti: bedhedheh ‘terbuka kancing
bajunya’, begegeh ‘berdiri dengan
kaki terbuka/ mengangkang’, cengengesan ‘mengerjakan sesuatu dengan tertawa /tidak serius’, jedhindhil ‘basah kuyup’, cekekar ‘jatuh dalam posisi terbuka’ celuluk ‘menyampaikan pendapat tiba-tiba’,
methentheng ‘ tegang / ngotot luar biasa’,
jelalatan ‘matanya nanar melihat
kesana-kemari’ dan kata-kata semacamnya banyak dan sering kita jumpai dalam tuturan
masyarakat Jawa. Kata seperti itu menurut Poedjosoedarmo (1981: 54 – 56)
disebut sebagai tembung dwiwasana.
2.1 Analisis Morfologis
Proses morfologis adalah
prosespembentukan kata dengan pengubahan bentuk dasar tertentu yang berstatus
sebagai morfem bermakna leksikal dengan alat pembentuk yang juga berstatus
sebagai morfem, tetapi dengan kecenderungan bermakna gramatikal dan bersifat terikat
(Sudaryanto 1991:18). Pariera (1988 : 18)menyebutnya sebagai proses morfemis,
yaitu proses pembentukan kata bermorfem banyak baik derivatif maupun inflektif.
Adapun proses tersebut dapat berwujud afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi.
Bertolak dari devinisi di atas,
berarti proses morfologis memiliki indikasi : (1) memiliki bentuk dasar; (2)
memiliki perangkat pembentuk morfem kompleks; dan (3) memiliki fungsi dan nosi
secara gramatis. Dwiwasana yang selama ini dikatakan sebagai proses pembentukan
kata jadian dengan proses pengulangan suku akir suatu kata, semestinya juga
memiliki indikasi seperti di atas. Tembung Dwiwasana mestinya juga memiliki
bentuk dasar yang bebas dan dapat bersenyawa dengan proses morfologis yang
lain. Proses pengulangan tembung dwiwasana juga mesti memiliki fungsi dan nosi
tertentu secara gramatis.
Kata bedhedheh bentuk dasarnya bedheh
(?), kata begegeh bentuk dasarnya begeh (?), kata cekekar bentuk dasarnya cekar
(?), kata celuluk bentuk dasarnya celuk (?), kata methentheng bentuk dasarnya
mentheng (?), kata jedhindhil bentuk dasarnya jendhil (?), kata jelalatan
bentuk dasarnya jelat (?)
Seandainya benar bahwa kata bedheh,
begeh, cekar, celuk, mentheng, jendhil dan jelat merupakan bentuk dasar, maka
kata-kata tersebut tentu juga terdapat dalam bentuk morfologis yang lain. Suatu
contoh misalnya misalnya kata mlaku-mlaku ‘berjalan-jalan’. Kata ini berasal dari bentuk dasar mlaku ‘berjalan’ yang mengalami proses diulang seluruh bentuk
dasarnya. Kata mlaku sendiri berasal dari
bentuk kompleks yang diturunkan dari bentuk prakategorial (Bp) laku. Dari kala
laku menjadi lumaku ‘berjalan’ ,
kemudian mengalami metateses menjadi mlaku
‘berjalan’. Dari bentuk dasar inilah
kemudian menghasilkan derivasi kata turunan lain yang banyak sekali. Selain
menjadi kata mlaku-mlaku, juga
ditemukan kata: lakon, lelakon, dilakoni, lakonana, dilakokake, kelakuan, daklakoni, dan sebagainya.
Morfem
mlaku ‘berjalan’ atau morfem laku (Bp) sudah jelas berterima sebagai
bentuk dasar dan dapat menurunkan derivasi bentuk kompleks yang lain. Sedangkan
morfem: bedheh, begah, cekar, celuk, mentheng, jendhil dan jelat tidak pernah
kita temukan dalam bentuk kompleks selain pada kata bedhedheh, begagah,
cekekar, celuluk, methentheng, jedhindhil dan jelalat. Tampak misalnya dalam
kalimat:
-
Bareng ketemu bocahe
padha cekikikan
‘Setelah ditemukan, anaknya (mereka)
tertawa-tawa perlahan’
- Kae
lho bocah-bocah klambine pating bedhedheh.
‘Itu lho anak-anak bajunya banyak yang
terbuka’
- Aja
mbegagah nang tengah lawang, kancane
ora bisa liwat!
‘Jangan menghalangi ditengah pintu,
temanya tidak bisa lewat!’
- Untung
nalika aku cekekaran neng tengah
dalan ora ana kendharaan liwat!
‘Untung ketika aku terjatuh ditengah
jalan tidak ada kendaraan lewat’
- Aja
seneng pethenthengan karo kancane.
‘Jangan suka berlagak angkuh dengan
temanya.’
- Delengen
ta anakmu kudanan nganti njedhindhil!
‘Lihatlah anakmu kehujanan sampai basah
kuyup.’
Dari beberapa contoh di atas ternyata
morfem bedheh, begah, cekar, celuk, mentheng, jendhil dan jelat tidak memiliki
pertautan arti dengan kata bedhedheh, begagah, cekekar, celuluk, methentheng,
jedhindhil dan jelalat. Hal ini memungkinkan bahwa kata bedhedheh, begagah,
cekekar, celuluk, methentheng, jedhindhil dan jelalat memang bukan diturunkan
dari bentuk dasar bedheh, begah, cekar, celuk, mentheng, jendhil dan jelat.
Bahkan sering kita temukan bentuk kata: bedhedheh, begagah, cekekar, celuluk,
methentheng, jedhindhil dan jelalat bersenyawa dengan partikel ‘pating’. Atau
tidak jarang kita temukan dalam bentuk kata ulang berubah bunyi, seperti:
bedhedhah-bedhedheh, pethenthang-pethentheng, celulak-celuluk, dan sebagainya.
Kenyataan diatas menunjukkan bahwa kata
yang selama ini kita anggap sebagai bentuk dwiwasana secara morfologis menunjukan
proses perulangan, karena tidak diketemukan bentuk dasarnya. Bisa jadi dia adalah
bentuk dasar, karena dari kata tersebut (dwiwasana)
bisa diturunkan menjadi bentuk kompleks yang lain. Misalnya kata pethentheng
bisa menjadi kata pethenthengan, pating pethentheng, atau
pethenthang-pethentheng.
2.2 Analisis Sintaksis
Salah satu fungsi sintaksis tembung
rangkep dapat menggantikan frase yang unsur frasenya terdiri atas bentuk dasar
dan partikel pating. Tampakmisalnya dalam kalimat :
‘Kendharaan sing slira-sliri babar
pisan ora narik kawigatene.’
Kata
‘slira-sliri’ pada kalimat tersebut secara timbal balik dapat digantikan dengan
frase ‘pating sliri’, sehingga kalimat di atas dapat berubah menjadi :
‘Kendharaan sing pating sliri babar
pisan ora narik kawigatene.’
Bagaimana dengan bentuk kata yang
selama ini dikenal sebagai tembung dwiwasana?
Kata cengenges tidak pernah
diketemukan dalam keadaan berdiri sendiri secara bebas. Kata tersebut selalu
diikuti dengan partikel ‘pating’, atau partikel ‘mak’, atau bersama prefiks
/ny-/, atau sufik /-an/. Padahal tidak pernah ditemukan dalam bentuk tembung
rangkep yang lain (baik dalam bentuk dwipurwa, dwilingga, maupun dwilingga
salin swara) yang bersenyawa dengan partikel ‘pating’. Tidak pernah diketemukan
kata ‘pating nenandur’. Tidak pernah diketemukan kata ‘pating mlaku-mlaku’.
Tidak pula ditemukan kata ‘pating tolah-toleh’.
Pada kata yang selama ini kita kenal
sebagai bentuk dwiwasana, sering sekali secara gramatis kita ketemukan kata
‘pating cengenges’, ‘pating cekakak’, ‘pating bedhedheh’, ‘pating jedhindhil’,
dan semacamnya.
Bertolak dari kenyataan di atas
menunjukkan bahwa secara gramatis kata yang selama ini kita anggap sebagai
bentuk dwiwasana tidak menunjukkan ciri perulangan (reduplikasi).
2.3 Analisis Semantik
Bentuk dasar dan bentuk turunan pada
suatu proses morfologis selalu memiliki pertautan makna. Kata ‘tulis’merupakan
bentuk prakategorial dan dapat diturunkan menjadi kata: nulis, nulisi,
nulisake, ditulis, ditulisi, ditulisake, tulisan, tulisna, nenulis,
nulis-nulis, nulas-nulis, dan masih banyak lagi bentuk turunan yang lain.
Bentuk-bentuk turunan tersebut secara semantis masih memiliki pertautan makna,
baik dalam bentuk kategori verba, nominal maupun ajektif.
Bandingkan dengan bentuk dasar
‘cenges’ dalam kata ‘cengenges’, bentuk dasar ‘bedheh’ dalam kata ‘bedhedheh’, bentuk
dasar ‘cekik’ dalam kata ‘cekikik’, bentuk dasar ‘cekar’ dalam kata ‘cekekar’
serta bentuk dasar ‘jendhil’ dalam kata ‘jedhindhil’.
Kata cengenges bermakna ‘tertawa
dalam keadaan mulut terbuka’. Sedangkan kata ‘cenges’ merupakan bentuk
prakategorial. Dari kata ‘cenges’ bisa diturunkan menjadi kata: dicenges
‘dilecehkan’, nyenges ‘melecehkan’, dan
cecenges ‘lecehan’. Namun secara gramatik tidak memiliki pertautan makna dengan
kata cengenges ‘tertawa dengan keadaan mulut terbuka’.
Kata ‘cekik’ tidak pernah kita
ketemukan dalam keadaan berdiri sendiri dalam bahasa Jawa. Bentuk kata seperti
ini juga tidak memiliki pertautan arti dengan kata cekikik. Demikian juga
bentuk bentuk kata seperti: cekar, jegig, jedhog, jelat, dan bentuk-bentuk
semacamnya tidak memiliki pertautan arti dengan kata: cekekar, jegagig,
jedhodhog, jelalat, dan bentuk-bentuk semacamnya. Bahkan bentuk-bentuk seperti:
cekekar, jegagig, jedhodhog, jelalat merupakan bentuk prakategorial yang baru
bermakna gramatis setelah bersenyawa dengan partikel pating, mak, atau sufiks
/-an/ maupun prefiks /N-/.
Bertolak dari kenyataan di atas,
analisis semantik telah memberi bukti bahwa kata yang selama ini dianggap
sebagai bentuk dasar dwiwasana tidak menunjukan pertautan arti dengan bentuk
baru yang diturunkan.
3.
Simpulan
Tiga
bentuk analisis (morfologis, sintaksis, dan semantik) menunjukkan bahwa
keberadaan bentuk kata yang selama ini kita kenal sebagai bentuk dwiwasana
tidak berterima. Dengan demikian bentuk-bentuk kata seperti: cengenges,
bedhedheh, cekekar, jegagig, jedhodhog, jelalat dan bentuk-bentuk semacamnya
dinyatakan sebagai bentuk dasar. Yaitu bentuk linguistik yang menjadi dasar
bentukan bagi morfem kompleks.
Jadi
bentuk yang selama ini dikenal sebagai tembung dwiwasana adalah tembung rangkep
semu, yaitu bentuk linguistik yang kenampakannya sebagai tembung rangkep, namun
sebenarnya bukan tembung rangkep melainkan bentuk dasar prakategorial yang baru
memiliki fungsi dan nosi gramatis setelah bersenyawa dengan partikel pating,
mak, prefik /N-/ atau sufiks /-an/.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Muhajir
1977 Morfologi
Dialek Jakarta: Afiksasi dan Reduplikasi. Jakarta: Nusa
2.
Padmosoekotjo, S
1986 Paramasastra
Jawa. Surabaya : Citra Jaya Murti
1987 Memetri
Basa Jawi Jilid III. Surabaya : Citra Jaya Murti
3.
Pariera, Jos Daniel
1988 Morfologi.
Jakarta : Gramedia
4.
Poedjosoedarmo, Gloria
1981 Sistem
Perulangan Dalam Bahasa Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa
5.
Samsuri
1988 Berbagai
Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta : Depdikbud
6.
Simatupang, MDS
1979 Reduplikasi
Morfemis Bahasa Indonesia. Jakarta : Jambatan
7.
Sudaryanto.
1991 Tata
Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta : Duta Wacana University Pers.
8.
Suwadji
1986 Morfosintaksis
Bahasa Jawa. Jakarta : Depdikbud
9.
Verhaar, JWM
1990 Pengantar
Linguistik. Jakarta: Jambatan
10. Yasin,
Sulchan
1987 Tinjauan
Deskriptif Seputar Morfologi. Surabaya : Usaha Nasional
0 komentar:
Posting Komentar