Oleh: Samsul Hadi
MGMP Bahasa Daerah Jawa-Madura Kabupaten Bondowoso
Dalam Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
tembang macapat masih dipilih menjadi
pokok bahasan yang harus diajarkan guru kepada siswa. Akan tetapi, pada
beberapa sekolah di berbagai daerah di Jawa Timur pokok bahasan tembang macapat
dilewatkan begitu saja oleh guru. Mengapa
tembang macapat tidak diajarkan oleh guru kepada siswanya? Adakah tindakan
pejabat yang membawahi guru, menindak tegas guru yang tidak mengajarkan tembang
macapat kepada siswanya?
Dua pertanyaan di atas sudah sering dijawab baik oleh
guru maupun pengamat pengajaran bahasa Jawa. Jawaban yang sering muncul atas
pertanyaan pertama, bahwa guru tidak menguasai tembang macapat. Sedangkan
jawaban yang sering muncul atas pertanyaan kedua oleh sebagian guru bahasa
jawa adalah karena tembang macapat tidak masuk menjadi poin tes dalam ujian.
Guru tidak menguasai tembang macapat. Munculnya kondisi
semacam itu tidak banyak orang yang mengusiknya. Mengapa guru tidak menguasai
tembang macapat? Pertanyaan semacam itu mestinya wajar dimunculkan. Guru yang
dalam pekerjaannya selalu dipandu kurikulum, justeru kenyataannya berani
melanggarnya. Alasannya, karena tidak
menguasai materi. Mengapa guru tidak berupaya menguasai materi tentang tembang
macapat?
Pelanggaran kurikulum oleh guru, karena guru tidak
mengajarkan tembang macapat kepada siswanya, selalu dimaklumi dan dimaafkan.
Sejauh ini belum pernah ada kabar berita, penanganan guru yang tidak
mengajarkan tembang macapat kepada siswanya oleh kepala sekolah ataupun pejabat
di atasnya lagi. Mengapa hal itu terjadi?
Kondisi tembang macapat menjadi pusaran jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan di atas. Sikap dan pandangan masyarakat Jawa dan juga
guru menjadi ujung penentu pengajaran tembang macapat.
Tembang macapat penting ataukah
tidak penting (diperlukan ataukah tidak diperlukan) bagi masa depan anak didik
kita? Adakah instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau
perusahaan swasta yang dalam seleksi penerimaan calon pegawainya mensyaratkan
penguasaan tembang macapat?
Sebagian besar masyarakat Jawa –terlebih lagi masyarakat Jawa yang
berada di Jawa Timur (baca: Kabupaten Bondowoso) memiliki sikap dan pandangan
seperti pertanyaan kedua di atas. Sikap dan pandangan pragmatis-instrumental
yang lebih banyak dipilih oleh masyarakat Jawa itu sangat tidak menguntungkan
bagi kehidupan tembang macapat. Demikian juga untuk pengajarannya. Di antara
sebagian besar masyarakat Jawa yang bersikap dan berpandangan semacam itu
adalah golongan masyarakat yang berprofesi guru, bahkan ada pula guru yang
kebetulan mengajarkan bahasa Jawa. Apakah kejadian semacam itu dapat dipandang
sebagai kejadian yang ironis? Guru bahasa Jawa (SD dan SLTP) dan guru yang
mengajarkan bahasa Jawa sah-sah saja memiliki sikap dan pandangan
pragmatis-instrumental terhadap tembang macapat. Guru semacam itu dalam
pekerjaannya akan dengan serta-merta melewati pokok bahasan tembang macapat
dan/atau tidak diajarkan kepada siswanya. Menyajikan tembang macapat
dianggapnya buang-buang waktu dan tenaga saja alias tidak efisien.
Sikap dan pandangan
pragmatis-instrumental terhadap tembang macapat
bukan lagi merupakan sikap dan pandangan individu dalam masyarakat Jawa, tetapi
telah menjadi sikap dan pandangan kolektif dalam masyarakat Jawa. Oleh sebab
itu, dapat dikatakan sikap dan pandangan pragmatis-isntrumental terhadap tembang macapat itu lebih dominan
pada sebagian besar masyarakat Jawa. Adakah semua itu merupakan bentuk
penolakan asal-asalan kepada semua yang berbau klasik, seperti dikatakan John
Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990), sebagai ciri gaya hidup global milineum
ketiga? Mungkin saja demikian, pendeknya
sikap dan pandangan pragmatis-instrumental
terhadap tembang macapat turut memegang prinsip efektif-efiesien,
prediktabelitas, dan kalkulabilitas sebagai bagian ciri kehidupan masyarakat
global sebagaimana digambarkan George Ritzer (1996).
Sikap dan pandangan
pragmatis-instrumental sebagian besar masyarakat Jawa di atas sering membutakan
sebagian kecil orang Jawa yang berupaya menguasai tembang macapat untuk mengais
rupiah. Ada sebagian kecil orang Jawa yang sengaja mendalami tembang atau
dongeng untuk bisa memperoleh keuntungan ekonomis. Produksi kaset dan buku
tembang macapat adakalanya membuat sebagian kecil masyarakat Jawa itu menjadi
kaya. Akan tetapi kenyataan itu, dianggap oleh sebagian besar masyarakat Jawa
yang bersikap pragmatis-instrumental terlalu kecil untuk membuktikan bahwa
tembang macapat masih fungsional, tidak kontra-ekonomis-produktif, dan tidak
kontra-pragmatis-instrumental.
Selain adanya sebagian besar
masyarakat Jawa yang bersikap dan berpandangan pragmatis-instrumental seperti
di atas, masih ada sebagian kecil masyarakat Jawa yang bersikap dan
berpandangan ideasional-substansial. Tembang macapat pada tataran
ideasional-substansial dipandang fungsional untuk penanaman nilai-nilai budi
pekerti yang luhur. Nilai-nilai luhur budaya Jawa dapat ditanamkan kepada
anak-anak Jawa melalui tembang macapat. Watak tembang macapat dapat menjadi suri tauladan membentuk budi
pekerti yang luhur.
Sikap dan pandangan
ideasional-substansial di atas dapat saja mengalahkan sikap dan pandangan
pragmatis-instrumental. Orang tidak perlu memikirkan tembang macapat dapat
menjadi ajang atau sarana untuk aktivitas ekonomis-produktif; bahkan pula
sebaliknya, orang juga tidak perlu
memikirkan tingkat keberhasilan penanaman nilai-nilai budi pekerti luhur kepada
anak melalui tembang macapat dengan membandingkan melalui sarana yang lain.
Sikap dan pandangan ideasional-substansial terhadap tembang macapat tersebut,
seperti dikatakan Neuhauser (1993) telah menjadi bentuk kesetiaan tersendiri
orang Jawa terhadap budaya etnisnya dan merupakan bagian yang berarti dari
perilaku orang Jawa yang semestinya dihormati dan diperhatikan. Atau, seperti pandangan pakar psikologi Abraham
Maslow (Schultz, 1981) Sikap dan pandangan ideasional-substansial terhadap
tembang macapat itu telah menjadi citra alamiah manusia Jawa dan sebagai bentuk
khusus aktualisasi diri.
Tegangan antara dua pilihan nilai
yang terjadi dalam masyarakat Jawa dewasa ini –nilai pragmatis-instrumental dan
ideasional-substansial-- memang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
tembang macapat. Akan tetapi, kondisi itu masih memberi ruang hidup tembang macapat.
Sebagian kecil masyarakat Jawa yang menganut nilai ideasional-substansial
dengan segala kepeduliannya mampu menghidupi, menumbuhkan, dan mengembangkan
tembang macapat. Kelompok masyarakat Jawa seperti itu menjadi elite budaya
tersendiri dalam masyarakat Jawa, yang cukup terbedakan dengan kelompok
mayoritas penegak nilai pragmatis-instrumental. Adanya kelompok-kelompok
macapatan di kota besar seperti
Surabaya, Malang, Jogjakarta, Sala, dan Semarang menjadi andalan wadah
kehidupan, pertumbuhan, dan perkembangan tembang macapat dalam gesekan dengan
kelompok mayoritas yang memandang bahwa memikirkan tembang hanya pemborosan
waktu dan tenaga.
Elite budaya penegak nilai
ideasional-substansial semakin hari semakin mengecil jumlahnya. Pada kalangan
orang tua semakin berkurang, karena telah banyak di antara mereka yang lengser
keprabon memenuhi panggilan yang Mahakuasa; sedangkan pada kalangan remaja yang
jumlahnya juga kecil telah banyak terkontaminasi dengan nilai
pragmatis-instrumental. Pada kasus terakhir itu, memunculkan kondisi sulit bagi
pengelola jurusan pendidikan bahasa Jawa atau sastra Jawa di perguruan tinggi
dalam menyeleksi calon mahasiswanya
Sebuah
pertanyaan besar sering muncul bagi orang tua siswa/mahasiswa ataupun oleh
siswa/mahasiswa sendiri, dapatkah dengan ijasahnya nanti mereka dapat
memperoleh pekerjaan yang layak bagi dirinya? Pertanyaan itu sering terjawab
dengan keadaan banyaknya bangku kosong di jurusan pendidikan bahasa Jawa atau
sastra Jawa di perguruan tinggi serta pada jurusan karawitan atau pedalangan di
sekolah menengah kejuruan (SMK).
Apapun yang terjadi, pilihan di
antara dua nilai terhadap tembang macapat dalam masyarakat Jawa di atas adalah
pilihan manasuka bagi orang Jawa. Era bisa turut berbicara, jaman bisa turut
berkumandang, dan kondisi bisa turut mengisi. Oleh sebab itu, tidak ada
penghakiman dan penghukuman atas pilihan apa saja dan kepada siapa pun. Pilihan
apa pun sah-sah saja, untung dan rugi ditanggung sendiri-sendiri. Pilihan
tengah, memadukan antara nilai ideasional-substansial dan
pragmatis-instrumental bisa saja terjadi. Sebagaimana Lerner (1983) mengatakan
tradisionalisme bisa bertahan dengan campur tangan teknonologi. Pemertahaanan
tembang macapat dapat dilakukan melalui penyelarasan dengan konteks era, jaman,
dan kondisi serta dikembangkan dengan teknologi kekinian yang efektif-efisien,
prediktabelitas, dan kalkulabilitas.
Penghakiman
dan penghukuman atas pilihan-pilihan nilai di atas hanya bisa dikenakan kepada
orang-orang yang memiliki profesi yang berkewajiban menguasai tembang macapat.
Adakah profesi yang semacam itu? Profesi semacam itu dimiliki oleh guru yang
diikat dan dipedomani oleh kurikulum dalam wilayah kerjanya.
Searah dengan
upaya yang harus dilakukan pejabat di bidang pendidikan, guru bahasa Jawa tidak
ada alasan lagi untuk meninggalkan kewajibannya dengan tidak mengajarkan
tembang macapat kepada siswanya. Untuk itu, belajar memahami dan melakukan
upaya pelatihan diri tembang macapat secara intensif menjadi kewajiban sebelum mengajarkan
kepada siswanya.
Guru bahasa Jawa harus menjadi orang
Jawa yang memegang nilai ideasional-substansial terhadap tembang macapat. Guru
bahasa Jawa harus menjadi kelompok elite profesional yang bersikap dan berpandangan bahwa tembang macapat
mengandung dan/atau dapat menjadi sarana pendidikan nilai-nilai budi pekerti
luhur. Dengan demikian, guru harus memahami aneka macam tembang macapat yang
berkembang di masyarakat Jawa dari dulu hingga kini.
Dengan bekal tersebut, guru pun
berupaya agar siswa mencintai tembang macapat. Guru me(re)produksi wacana ke
arah kecintaan terhadap tembang macapat. Dengan kreativitasnya, guru dapat
menyajikan tembang Asmaradana
pembuka
(bawa) lagu dangdut Anoman Obong yang disajikan oleh Inul Daratista.
Caritane wayang Jawi,
ing nagri Ngalengkadraja,
Rahwana raja arane,
geger nyolong Dewi Sinta,
Anoman cancut tumandang,
Ngalengka digawe awu,
kobong gedhe jroning para.
Tembang ciptaan Ranto Gudel itu lebih dikenali oleh siswa
sekarang, daripada tembang Pocung seperti berikut.
Bapak pocung, dudu
watu dudu gunung,
sabamu ing sendhang,
pencokanmu lambung
kering,
prapteng wisma si
pocung mutah kuwaya.
Tembang Pocung di atas juga dapat dibandingkan
kekiniannya dengan tembang serupa yang
dipergunakan untuk pembuka lagu Blitar berikut.
Blitar iku, ngemot
sejarah mituhu,
Patih Gajahmada,
uga tokoh proklamasi,
ya Bung Karno
presidhen kang sepisanan.
Penguasaan tembang macapat dibutuhkan guru untuk
dapat mengajarkan kepada siswa. Akan tetapi, dukungan teknis mengajar
(pemanfaatan alat seperti tape atau video) juga diperlukan untuk
menopang pencapaian tujuan supaya siswa mencintai tembang macapat.
Penutup
Urgensi tembang macapat ditentukan oleh pilihan
nilai. Keberadaan tembang macapat sebagai pokok bahasan dalam mata pelajaran
bahasa Jawa di sekolah didasarkan pada pilihan nilai ideasional-substansial.
Sebagaimana saran Garcia (1982) pengajaran pada masyarakat majemuk pilihan
nilainya terhadap tembang macapat, kemasan tema-tema kekinian dalam tembang
macapat akan menyokong daya hidupnya pada masa kini dan yang akan datang dan
pemanfaatan teknologi modern dalam pengajaran akan membangun kesetaraan warga
belajar.
Daftar Pustaka:
Naisbitt, John and
Patricia Aburdene, 1990. Ten New Directions for the 1990’s: Megatrends 2000.
New York: Avon Books
Neuhauser, Peg C., 1993. Corporate
Legends and Lore. New York: McGraw-Hill, Inc.
Ritzer, George, 1996. The
McDonaldization of Society. California: Pine Forge Press
Lerner, Daniel, 1983. Memudarnya
Masyarakat Tradisional (terjemahan Mujarto Tjokrowinoto). Jogjakarta:
Gadjah Mada University Press
0 komentar:
Posting Komentar